Kini Sukses Meski Sering Berperan Jadi Pembantu, Ternyata Artis Ini Memiliki Masa Lalu yang Pilu
Jika kamu sering menonton tayangan
sinteron di Televisi Indonesia, pasti kamu tidak asing dengan artis satu ini.
Ia sering berperan sebagai pembantu yang judes tapi koak.
Kehadirannya selalu mengundngund ang tawa penonton, kadang juga
bikin gemes dan bikin yang nonton justru ngomel-ngomel.
Ia adalah Ana Chrisitina Pinem, atau akrab dipanggil Ana Pinem,
Wanita berdarah Karo kelahiran Sumatera Utara 25 Desember 1976
ini mengawali kariernya di dunia seni peran lewat sinetron Incen yang
disutradarai oleh Arswendo Atmowiloto.
Ia mulai dikenal lewat perannya sebagai Bik Tum dalam sinetron
Kisah Sedih di Hari Minggu.
Ana Pinem telah membintangi cukup banyak sinetron, dan
kebanyakan ia memerankan tokoh antagonis, tetapi akhir-akhir ini dia lebih
sering memerankan tokoh protagonis yang konyol.
Sebagai artis yang membintangi berbagai judul sinteron, membuat
Ana Pinem kini memiliki hidup yang lebih baik.
Dibalik wajah ceria yang kerap ia tampilkan di banyak judul
sinetron yang ia bintangi, ia ternyata memiliki masa lalu yang pilu.
Begini kisah yang pernah ia ungkapkan kepada Tabloidnova.com di
tahun 2011 silam.
Hidup Sederhana Sebagai
Anak dari Seorang Supir Bus
“Mungkin kalian pernah menyaksikan selintas aktingku di layar
kaca. Memang bukan peran utama, tapi pembantu rumah tangga. Walau peran
pembantu, namun porsiku cukup sering tampil mendampingi majikan yang
marah-marah. Bisa jadi yang paling mudah diingat adalah ketika aku beradu peran
bersama Meriam Belina dalam sinetron Kisah Sedih di Hari Minggu. Aku
berperan sebagai Bik Tum yang selalu mendukung majikan yang kejam, tapi di sisi
lain juga konyol.
Itulah aku. Orangtua memberiku nama Ana Christina Pinem. Aku terlahir
25 Desember 1976 di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Letaknya sekitar
76 km dari puri pu
sat Kota Medan. Lahir dari pasangan Tammat Pinem dan Bertha Selangit, kedua orangtuaku memang asli asal Batak Karo. Aku anak kelima dari enam bersaudara.
sat Kota Medan. Lahir dari pasangan Tammat Pinem dan Bertha Selangit, kedua orangtuaku memang asli asal Batak Karo. Aku anak kelima dari enam bersaudara.
Karena banyak anak, rumah terasa ramai walau Bapak jarang
pulang. Ya, pekerjaan beliau sebagai supir bus luar kota membuatnya pulang ke
rumah tiap dua minggu sekali. Itu pun hanya 1-2 hari. Tapi, aku tak merasa
kurang kasih sayang Bapak. Tiap beliau pulang justru aku senang sekali. Makanan
di rumah rasanya lebih enak karena banyak lauk-pauk. Belum lagi uang jajan
bertambah karena kami sering dibawakan recehan logam.
Kalau sedang di rumah, Bapak sering mengajak kami main,
membersihkan kolam lele atau berkebun di depan rumah. Beliau memang lebih dekat
dengan anak-anak perempuannya. Tapi, bukan berarti aku tak dekat dengan Mamak,
lho.”
Batak
Betawi
“Karena ingin mengubah nasib, Bapak dan Mamak memutuskan pindah
ke Jakarta. Bapak juga ingin kami bisa mengenyam pendidikan tinggi agar tak
mengikuti jejaknya menjadi supir. Ketika itu tahun 1979, aku masih berusia tiga
tahun. Kami sekeluarga diboyong ke Jakarta, tepatnya di bilangan Jati Asih,
Bekasi. Lingkungan tempat tinggalku yang baru ini agak berbeda. Banyak warga
keturunan Betawi, yang juga berbaur dengan suku Batak Karo. Teman-temankumanku
pun bertambah banyak.
pun bertambah banyak.
Meski beda budaya, tapi aku gampang saja bergaul dengan mereka.
Namanya juga anak-anak, hampir setiap hari main di luar rumah. Lama-lama aksen
Sumatera-ku berubah jadi ala Betawi. Bersama teman-teman baruku, aku main
masak-masakan, gambaran orang-orangan, main di kali, hujan-hujanan, karet
gelang, adu biji karet, dan tentu saja yang menjadi favoritku main
rumah-rumahan. Meski bermain terus, dari kecil orangtua kami sudah memberi
tanggung jawab dan kepercayaan. Kalau sudah jam 7 malam, semua sudah ada di
rumah untuk belajar dan tidur.
Pekerjaan Bapak di Jakarta juga tetap menjadi supir. Dengan
penghasilan beliau, bisa dibayangkan seperti apa kondisi ekonomi keluargaku.
Rumahku terbuat dari papan triplek. Kalau hujan, atap rumah bocor. Walaupun
hidup serba pas-pasan, tapi kami semua harus tetap bersekolah. Aku juga tetap
bahagia dan tak merasa miskin. Bagiku kekayaan yang tak ternilai adalah kasih
sayang dan kehangatan keluarga. Aku tak pernah minder atau iri dengan
teman-teman lain.
Aku menamatkan pendidikan dasar di SD Jati Asih Kota. Jaraknya
tak jauh dari rumah. Masa sekolahku rasanya biasa-biasa saja. Aku bukan
termasuk murid yang pintar di kelas, tapi juga bukan yang paling bodoh.
Buktinya aku selalu naik naik
kelas. Pernah, sih, aku dapat nilai merah di rapor untuk pelajaran matematika. Tapi, Bapak tidak marah. Ketika tiba giliran menunjukkan rapor bersama abang dan adik, Bapak hanya memandang lekat-lekat nilai merah itu lalu memintaku membaca pesan guru yang ditulis di buku rapor. Isinya agar lebih giat belajar. Caranya sederhana tapi cukup menyentil agar aku tak mengulang kesalahan yang sama.
kelas. Pernah, sih, aku dapat nilai merah di rapor untuk pelajaran matematika. Tapi, Bapak tidak marah. Ketika tiba giliran menunjukkan rapor bersama abang dan adik, Bapak hanya memandang lekat-lekat nilai merah itu lalu memintaku membaca pesan guru yang ditulis di buku rapor. Isinya agar lebih giat belajar. Caranya sederhana tapi cukup menyentil agar aku tak mengulang kesalahan yang sama.
Orangtuaku memang tidak pernah banyak omong menyuruh atau
menasehati keenam anaknya. Mereka lebih menunjukkan teladan melalui perbuatan.
Misalnya, kalau sedang marah Bapak tak pernah menunjukkan emosinya di depan
kami. Kalau ada masalah dengan Mamak, pasti Abangku yang pertama langsung
tanggap dan mengajak adik-adiknya main ke luar rumah untuk nonton di bioskop.
Pesan Bapak yang aku ingat adalah kesopanan. Selain itu, kami diajarkan untuk
tidak mengambil hak orang lain dan menyayangi sesama.”
Menguntit Pengunjung
Bioskop
“Selepas SD, aku melanjutkan sekolah di SMP Jati Asih. Beberapa
sahabatku menikah karena orangtuanya tak mampu membiayai sekolah. Aku tetap
senang bermain. Terutama jika akhir pekan, karena waktunya lebih longgar. Malam
hari biasanya aku keluar rumah untuk nonton di bioskop. Hobiku ini dilakukan bersama
teman-teman. Kami nonton film di dekat rumah, namanya Bioskop Adi.
Dulu tiap membeli satu karcis seharga Rp 300, orang dewasa boleh
membawa satu anak kecil. Karena tidak punya unya u
ang lebih untuk nonton, aku sering menguntit pengunjung bioskop yang datang sendirian. Aku cuek saja meski tak kenal. Yang penting aku terlihat seperti anaknya dan bisa masuk ke dalam untuk nonton gratis. Sampai-sampai penjaga tiket hafal dengan wajahku. Ha ha ha..
ang lebih untuk nonton, aku sering menguntit pengunjung bioskop yang datang sendirian. Aku cuek saja meski tak kenal. Yang penting aku terlihat seperti anaknya dan bisa masuk ke dalam untuk nonton gratis. Sampai-sampai penjaga tiket hafal dengan wajahku. Ha ha ha..
Karena saat itu banyak film action Indonesia, idolaku adalah
Barry Prima dan Advent Bangun. Mungkin karena salah satu dari mereka wajahnya
mirip Bapak.
Keceriaanku sempat hilang saat Bapak meninggalkan kami untuk
selama-lamanya. Saat itu aku kelas 1 SMP. Setelah pulang kerja, beliau mengeluh
sakit. Usai diobati keesokan paginya, tak lama beliau meninggal. Kenanganku
bersama Bapak memang terasa sangat singkat. Sedih sekali karena beliau begitu
penyayang dan dekat denganku. Setelah beliau tiada, Mamak menjadi kepala rumah
tangga. Kehidupan jadi makin berat dan susah, tapi Mamak tak menyerah. Beliau
mencari uang sebagai makelar tanah. Sambil kuliah Abangku yang tertua pun kerja
sampingan. Puji Tuhan, kami tak perlu pulang kampung dan semuanya bisa sekolah
hingga lulus.”
Bingung
Kuliah
“Ketika mulai masuk SMU, keluargaku pindah rumah. Aku lalu
bersekolah di SMU 1 Pondok Gede. Di masa itulah, aku baru menemukan
ketertarikan di bidang seni. Aku ikut ekskul musik daerah dan senang terlibat
kegiatan ini-itu. Oh ya, aku juga ingat, saat pelajaran Bahasa Indonesia, aku disuruh
membaca dialog dan mendapat pujian guru karena teknikeknik
nya benar. Ternyata pelajaran itu berkaitan dengan seni peran. Mungkin karena aku terbiasa menonton adegan film sejak kecil. Ha ha ha..
nya benar. Ternyata pelajaran itu berkaitan dengan seni peran. Mungkin karena aku terbiasa menonton adegan film sejak kecil. Ha ha ha..
Saat kelas 1 SMU, hanya ada sembilan orang perempuan di kelas.
Aku pun mulai memiliki geng. Disebutnya geng trouble maker karena
anggotanya “ramai”. Padahal kami tak pernah cari masalah, lho, hanya selalu
bertingkah konyol dan berani. Kalau mau jalan-jalan untuk irit ongkos, kami
menumpang mobil bak. Pernah juga aku dipanggil guru BP karena memakai rok di
atas dengkul. Tapi, besoknya dijahit lagi.
Di SMU aku juga mulai naksir lawan jenis. Tapi aku tidak pernah
pacaran selama sekolah, makanya kalau malam minggu lebih sering di rumah.
Masa-masa remaja aku habiskan dalam kesederhanaan. Aku bergaul tanpa
pilih-pilih teman, sebaliknya teman-temanku pun menilai aku dari pribadiku,
bukan dari latar belakang ekonomi.
Saat kelulusan SMA tahun 1995, rok dan baju habis
dicorat-coret.Meski merayaan kelulusan dengan heboh, dalam hati aku sebenarnya
bingung. Aku tak tahu mau meneruskan kuliah jurusan apa. Aku merasa tidak ada
minat di satu bidang khusus. Meski begitu, aku tetap ikut UMPTN dan sempat
lolos di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah. Tapi tidak aku ambil
karena merasa tidak sreg dengan jurusan psikologi. Melihat gedung kampus yang
menjulang tinggi saja aku tak tertarik. Biaya kuliah, kan, juga tak murah.
Pokoknya saat itu aku tak tahu mau jadi apa nantinya dan kuliah dimana.”
Selepas SMU, aku bingung mau kuliah di jurusan apa. Setiap hari
sebelum tidur, aku berdoa kepada Tuhan agar memberi jawaban, di mana tempat
terbaik untukku menimba ilmu. Doaku terjawab di suatu pagi. Kakak perempuanku
menawari kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), karena ia juga senang seni.
Saat itu aku tak tahu sama sekali apa itu IKJ? Ketika datang untuk melihat kampusnya
di Cikini, wah, aku langsung jatuh cinta dan ingin sekali kuliah di sana. Aku
terpesona dengan bangunan dan suasananya yang berbeda dari perguruan tinggi
lain.
Karena mencari jurusan yang biaya kuliahnya paling murah, aku
memilih teater. Tak apa, yang penting aku bisa kuliah di kampus ini, pikirku
saat itu. Saat ujian masuk D3 Teater, aku diberi tes dialog dan monolog. Aku
semangat sekali berlatih. Namun, diuji oleh Didi Petet dan Sofia WD membuatku
deg-degan setengah mati. Apalagi ditonton banyak senior. Ini, kan, pengalaman
pertamaku di panggung teater. Ketika tiba pengumuman, namaku tercantum sebagai
mahasiswi yang lolos seleksi. Senang sekali rasanya karena jurusan teater
memang selektif, hanya menampung 19 orang.”
Operator Idaman
“Di awal perkuliahan, aku kaget juga karena kegiatan kampus
berlangsung dari pagi sampai sore. Akhirnya aku memilih kos dan pulang ke rumah
setiap akhir pekan saja. Meski “tua” di kampus karena capek latihan, tapi aku
menikmati sekali masa-masa ini. Kuliahku dibiayai Abang, makanya aku bertekad
harus lulus dengan nilai baik. Lingkup pergaulan juga kuperluas. Tak hanya
bergaul dengan sesama anak teater tapi juga mahasiswa dari bidang musik,
sinematografi, tari, audio visual. Prinsipku, kuliah harus serius tapi santai.
Santai tapi serius. Kalau terlalu serius bisa gila. Kalau terlalu santai nanti
drop out. Ha ha ha..
Seni peran, olah tubuh dan dapur teater adalah bidang studi yang
paling aku suka. Memainkan peran di panggung teater juga aku suka. Aku pernah
memerankan perempuan baik-baik, ibu-ibu sampai jadi pelacur. Bersama teater IKJ
aku melakukan pementasan di berbagai kota di Indonesia bahkan hingga ke
Malaysia. Aku sempat cuti satu semester karena menunggu teman-teman yang belum
lulus salah satu mata kuliah. Pasalnya, untuk ujian akhir kami harus pentas
bersama kelompok di hadapan para dosen. Untuk membunuh waktu luang, kadang aku
pentas, pantomin, ikut teman bikin video klip, dan sandiwara radio. Tahun 1998
aku menamatkan kuliah dan diwisuda tahun 2002. Senang rasanya melihat Mamak
bisa datang mendampingiku, meski Bapak telah tiada.
Sambil menunggu wisuda, aku sempat ikut sandiwara radio.
Disutradarai dosenku, sandiwara ini direkam di studio audio Pospro dan
disiarkan ke seluruh Indonesia. Karena jumlahnya ratusan episode, mau tak mau
hampir setiap hari aku ke studio itu. Di situlah aku bertemu operator audio,
Robertus Bobby Ratno Setyanto. Seperti pepatah Jawa “witing tresno jalaran soko
kulino”, karena sering bertemu lama-lama kami saling suka dan pacaran.
Untungnya ia tipe orang yang diam, cocok dan sesuai pria idamanku. Setelah dua
tahun berpacaran, kami menikah pada 2006 silam.”
Sandal Copot
“Lulus kuliah aku kembali bingung. Tak terbayang olehku, dengan
ijazah teater, akan diterima bekerja dimana? Tak mungkin terus mengikuti hobi
atau idealisme di atas panggung. Salah satu dosen favoritku di kampus
menyemangati. Katanya, industri perfilman dan pertelevisian di Indonesia pasti
bangkit, sehingga peluang dalam pencarian pemain berbakat terbuka lebar. Aku
sempat ikut teater Putu Widjaya dan Renny Jayusman. Tapi, untuk memenuhi
kebutuhan hidup, aku juga butuh penghasilan lebih.
Dan, mulailah aku ikut casting sinetron. Dari info
sana-sini aku bersama teman-teman sesama lulusan teater rajin mendatangi
Production House (PH). Pertama kali menjajal casting, banyak sekali cerita lucu
yang kualami. Aku pernah berangkat casting ramai-ramai naik kopaja. Tiba
di lokasi, sandal cantikku copot. Jadi aku harus pinjam sandal teman yang sudah
selesai di-casting. Ha ha ha… Ada-ada saja, ya? Biasanya, bila lolos dan sudah
dapat honor, aku pakai untuk modal casting berikutnya. Aku malu bila minta uang
ke Mamak atau Abang untuk ongkos, beli baju, make up, dan jajan.
Suatu ketika, aku mencoba peruntungan casting di PH milik
Arswendo Atmowiloto. Ketika jalan pulang, ada kru yang meneriakki aku. Katanya
aku disuruh langsung ambil naskah. Wah, tak disangka aku diterima. Sinetron
Incen adalah debut pertamaku berakting di layar kaca. Disutradarai
langsung oleh Mas Wendo, aku berperan sebagai ibu-ibu Betawi untuk dua episode.
Syuting berlangsung di Depok. Setelah selesai, aku pamit, eh, besoknya aku
ditelepon untuk meneruskan peran yang sama. Lumayan dapat 13 episode dan tayang
seminggu sekali.
Pertama melihat diriku muncul di teve, bangganya bukan main. Mamak
dan teman-teman juga demikian. Honor pertama aku berikan ke Mamak dan beli jam
tangan yang aku idam-idamkan. Karena sedang tren sinetron Betawi, selanjutnya
aku kembali terlibat di sejumlah judul yang berbeda.
Tahun 2003, aku kembali ikut casting di PH Sinemart. Salah satu
sutradara sedang mencari karakter pembantu rumah tangga yang antagonis.
Pencarian pun dilakukan di kampus IKJ. Aku ikut dan lolos mendapat peran untuk
dua episode di sinetron Kisah Sedih di Hari Minggu. Begitu selesai, ternyata
porsi peranku diperbanyak. Aku pun beradu akting dengan Meriam Belina dan
Marshanda memerankan Bik Tum, pembantu rumah tangga yang jahat tapi konyol.
Dari situlah aku mulai intens berperan dalam sinetron panjang.
Peranku sebagai pembantu cukup menyita perhatian pemirsa dan
berkesan. Karena karakternya jahat, nyinyir, menyebalkan, tapi konyol.
Selanjutnya, peran pembantu lain juga aku dapatkan. Walau orang mengenal
peranku di sinetron sebagai pembantu rumah tangga, tapi karakternya beda-beda.
Ada yang jahat, baik, konyol, bahkan genit. Walau ada juga skenario yang
membuatku bergidik karena peranku sangat jahat. Namun, semua itu harus
dijalani. Risikonya, setiap bertemu penonton, ada saja ibu-ibu yang mendamprat
karena kesal melihat aktingku di sinetron. Aku hanya tertawa-tawa saja
menanggapinya.”
Penonton Setia
“Dulu, belum banyak sinetron stripping, jadi waktu syuting masih
agak longgar. Ketika terlibat dalam Anak Cucu Adam, barulah aku merasakan
syuting kejar tayang. Motivasi utamaku bermain sinetron sebenarnya untuk
mencari uang, bukan ingin menjadi artis terkenal atau mengharap penghargaan.
engharap penghargaan.
Semua semata karena bidang yang bisa aku lakukan adalah seni peran. Inginnya, sih, suatu saat nanti aku mendapat peran sebagai hero di genre action. Menurutku, cerita dan karakternya pasti akan sangat menantang. Aku sendiri juga memang suka film action dan drama.
Semua semata karena bidang yang bisa aku lakukan adalah seni peran. Inginnya, sih, suatu saat nanti aku mendapat peran sebagai hero di genre action. Menurutku, cerita dan karakternya pasti akan sangat menantang. Aku sendiri juga memang suka film action dan drama.
Mamak adalah penonton setia setiap sinetron yang kubintangi.
Beliau juga sering memberi masukan atas aktingku. Maklum, bakat seni memang
mengalir karena ia senang menulis, menyanyi, dan menganalisa cerita. Sedangkan
almarhum Bapak senang main suling dan menari. Kami memang lahir dari keluarga
pecinta seni. Makanya setiap sinetronku tayang perdana, aku selalu tanya
padanya. Pernah juga ia heran mengapa aku genit sekali di sinetron yang
kubintangi, ha ha ha… Namanya juga akting, Mak!
Di samping sukanya, ada pula dukanya main sinetron, seringkali
aku pulang jam 3 pagi sambil naik motor. Rasanya mata ini harus diganjal agar
tetap melek. Nah, saat ini aku masih terlibat di sinetron Putri Yang Ditukar.
Meski harus kejar tayang, aku tetap fleksibel membagi waktu. Kegiatan
sehari-hariku, ya, syuting di lokasi. Jika libur di hari Minggu, aku kumpul
bersama Mamak, kakak, keponakan, dan tentu saja dengan suamiku.
Untungnya, karena suamiku juga bekerja di industri kreatif dan
seni, rasa saling pengertian soal profesi di antara kami sudah terjalin sejak
pacaran. Kadang, bila aku syuting, suami menemani atau menjemput saat pulang.
Bila sedang libur, kami kami sering makan di luar atau nonton bioskop, tetap
seperti hobiku saat kecil. Aku belum memiliki momongan. Yang penting rumah
tanggaku langgeng. Karier dan keluarga berjalan baik dan sama-sama sukses. Kami
saling percaya dan selalu saling mendukung.
Aku selalu menjalani hidup layaknya air mengalir. Tak ada obsesi
tertentu. Aku hanya ingin berakting semampuku, sampai kapanpun dunia ini akan
kujalani. Seni peran sudah menjadi bagian hidupku dan kuanggap sumber
kehidupan. Selebihnya adalah bonus. Puji Tuhan hingga kini aku sudah terlibat
dalam belasan judul sinetron. Meskipun ini bukan mimpi masa kecilku, tapi aku
bersyukur bisa diberi rezeki yang besar. Senang rasanya bisa membantu keluarga.
Bisa membeli barang-barang yang dulu hanya bisa kulihat saja.
Mungkin suatu saat aku akan berbisnis sebagai antisipasi bila
tak lagi aktif di dunia seni peran. Makanya, pendapatanku juga disisihkan untuk
investasi. maunya, sih, aku ingin berakting sampai tua seperti Nanny Wijaya.
Banyak orang yang sangsi pada masa depan seniman, tapi keluargaku justru
mendukung. Untunglah orangtuaku tak pernah memaksa. Mereka menyerahkan tanggung
jawab pada diriku. Hanya, Mamak selalu berpesan agar aku tetap rendah hati.
Artis, kan, manusia juga, hanya bedanya dikenal oleh pemirsa. Begitulah prinsipku
menjalani hidup ini.”
Comments
Post a Comment